"Cegah Stunting Pada Anak"
Menurut WHO, stunting adalah kondisi gagal tumbuh. Ini bisa dialami oleh anak-anak yang mendapatkan gizi buruk, terkena infeksi berulang, dan stimulasi psikososialnya tidak memadai. Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Menurut pakar nutrisi dan penyakit metabolik anak, Damayanti Rusli Sjarif, dampak stunting bukan sekadar tinggi badan anak. “Kalau anak pendek, ketika remaja dia bisa tumbuh lagi. Ada kesempatan kedua untuk menaikkan tinggi badan. Tapi kalau sudah stunting terkait pertumbuhan otak, ketika sudah besar, anak tidak bisa diobati lagi,” jelas Damayanti.
"Stunting di Indonesia"
"Hubungan Stunting Dengan Masalah Kesehatan Gigi"
Stunting merupakan masalah kesehatan yang bersumber pada malnutrisi yang mengakibatkan tinggi badan anak yang lebih rendah dari tinggi badan anak lainnya yang seumuran. Seseorang yang mengalami malnutrisi memiliki kecenderungan untuk masalah kesehatan lainnya, salah satunya adalah masalah gigi. Menurut salah satu jurnal kedokteran gigi (Vol I. No I. Maret 2016) menyatakan bahwa stunting dapat meningkatkan resiko terjadinya karies gigi. Hal ini dikarenakan seorang stunting memiliki masalah pada fungsi saliva. Saliva memiliki fungsi sebagai buffer, pembersih, anti pelarut, dan antibakteri rongga mulut. Jurnal kedokteran gigi tersebut menerangkan bahwa terdapat empat factor internal yang dapat berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan karies gigi. Pertama adalah gigi dan saliva. Gigi memiliki permukaan yang kasar dan bentuk lengkung yang tidak teratur, hal ini mengakibatkan sisa makanan dan bakteri yang mudah tertumpuk (terutama pada bagian yang dalam). Saliva yang berperan sebagai buffer tersebut mampu membersihkan ronggga mulut dari debris-debris makanan. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri karena bakteri tidak dapat tumbuh dan berkembang biak jika tidak terdapat debris makanan tersebut. Kedua adalah mikroorganisme. Karies gigi terjadi karena proses fermentasi dari sisa makanan yang ada di rongga mulut oleh miroorganisme pembentuk asam (seperti Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Lactobacillus acicophilus, dan Actinomyces viscosus). Mikroorganisme ini terdapat di dalam plak dan saliva. Bakteri dapat bertahan lebih baik ketika lingkungan asam dan akan memproduksi polisakarida ekstraseluler dari sukrosa. Ketiga adalah substrat. Substrat yang dimaksud dalam konteks ini adalah karbohidrat. Sukrosa dan glukosa dalam karbohidrat dapat meragi oleh bakteri sehingga membentuk asam yang membuat pH plak menurun sampai 5. Penurunan pH yang berulang dalam kurun waktu tertentu ini mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi (dan memulai proses karies). Terakhir adalah waktu. Karies gigi pasti akan muncul, namun semua bergantung oleh ketiga factor diatas dan waktu (cepat atau lambat). Ketika frekuensi substrat meningkat dalam waktu lama (bulan sampai tahunan), maka karies akan muncul dan menumpuk. Hal ini menunjukkan bahwa karies adalah penyakit kronis. Terlepas dari masalah stunting, kita wajib memeriksakan dan membersihkan gigi secara berkala. Umumnya pembersihan gigi dilakukan 6 bulan sekali oleh dokter gigi. Menurut pendapat drg. Nithya, Sp.Perio, stunting merupakan masalah malnutrisi yang terjadi sejak dalam kandungan dan baru akan terlihat manifestasinya pada usia 2 tahun. Hal ini memberikan peluang masalah gigi yang lebih luas, tidak hanya masalah karies gigi. Harus ada studi lanjutan menganai efek stunting terhadap gangguan erupsi gigi (tumbuh gigi dan pergantian gigi) pada anak. Serta jika lebih jauh lagi, harus digali kaitan stunting dengan gangguan perkembangan rahang yang dapat menyebabkan maloklusi (gangguan susunan gigi geligi). Pembenaran akan pendapat drg. Nithya terdapat pada penelitian yang dilakukan di Bantul (DIY). Penelitian dari 60 siswa yang berumur 6-7 tahun (membagi dalam gizi pendek (malnutrisi) dan gizi normal) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi (malnutrisi) dengan erupsi gigi.
Penulis : Citra Denali, S.KM, M.Kes. Sumber : Atiek Driana Rahmawati, Hastami Retriasih, dan Ana Medawati. Hubungan antara Status Gizi dengan Status Erupsi Gigi Insisivus Sentralis Permanen Mandibula. IDJ; Mei 2014; Vol.3 No.1; 16-21. drg. Nithya, Sp.Perio. Dokter Spesialis Gigi Perio RSU Queen Latifa Yogyakarta. 2018. Taupiek Rahman, Rosihan Adhani, dan Triawanti. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi. Maret 2016; Vol I. No 1; 88-93. su prioritas kesehatan Indonesia sekarang ini sedang hangat dengan istilah stunting. Stunting merupakan masalah kesehatan yang bersumber pada malnutrisi yang mengakibatkan tinggi badan anak yang lebih rendah dari tinggi badan anak lainnya yang seumuran. Seseorang yang mengalami malnutrisi memiliki kecenderungan untuk masalah kesehatan lainnya, salah satunya adalah masalah gigi. Menurut salah satu jurnal kedokteran gigi (Vol I. No I. Maret 2016) menyatakan bahwa stunting dapat meningkatkan resiko terjadinya karies gigi. Hal ini dikarenakan seorang stunting memiliki masalah pada fungsi saliva. Saliva memiliki fungsi sebagai buffer, pembersih, anti pelarut, dan antibakteri rongga mulut. Jurnal kedokteran gigi tersebut menerangkan bahwa terdapat empat factor internal yang dapat berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan karies gigi. Pertama adalah gigi dan saliva. Gigi memiliki permukaan yang kasar dan bentuk lengkung yang tidak teratur, hal ini mengakibatkan sisa makanan dan bakteri yang mudah tertumpuk (terutama pada bagian yang dalam). Saliva yang berperan sebagai buffer tersebut mampu membersihkan ronggga mulut dari debris-debris makanan. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri karena bakteri tidak dapat tumbuh dan berkembang biak jika tidak terdapat debris makanan tersebut. Kedua adalah mikroorganisme. Karies gigi terjadi karena proses fermentasi dari sisa makanan yang ada di rongga mulut oleh miroorganisme pembentuk asam (seperti Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Lactobacillus acicophilus, dan Actinomyces viscosus). Mikroorganisme ini terdapat di dalam plak dan saliva. Bakteri dapat bertahan lebih baik ketika lingkungan asam dan akan memproduksi polisakarida ekstraseluler dari sukrosa. Ketiga adalah substrat. Substrat yang dimaksud dalam konteks ini adalah karbohidrat. Sukrosa dan glukosa dalam karbohidrat dapat meragi oleh bakteri sehingga membentuk asam yang membuat pH plak menurun sampai 5. Penurunan pH yang berulang dalam kurun waktu tertentu ini mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi (dan memulai proses karies). Terakhir adalah waktu. Karies gigi pasti akan muncul, namun semua bergantung oleh ketiga factor diatas dan waktu (cepat atau lambat). Ketika frekuensi substrat meningkat dalam waktu lama (bulan sampai tahunan), maka karies akan muncul dan menumpuk. Hal ini menunjukkan bahwa karies adalah penyakit kronis. Terlepas dari masalah stunting, kita wajib memeriksakan dan membersihkan gigi secara berkala. Umumnya pembersihan gigi dilakukan 6 bulan sekali oleh dokter gigi. Menurut pendapat drg. Nithya, Sp.Perio, stunting merupakan masalah malnutrisi yang terjadi sejak dalam kandungan dan baru akan terlihat manifestasinya pada usia 2 tahun. Hal ini memberikan peluang masalah gigi yang lebih luas, tidak hanya masalah karies gigi. Harus ada studi lanjutan menganai efek stunting terhadap gangguan erupsi gigi (tumbuh gigi dan pergantian gigi) pada anak. Serta jika lebih jauh lagi, harus digali kaitan stunting dengan gangguan perkembangan rahang yang dapat menyebabkan maloklusi (gangguan susunan gigi geligi). Pembenaran akan pendapat drg. Nithya terdapat pada penelitian yang dilakukan di Bantul (DIY). Penelitian dari 60 siswa yang berumur 6-7 tahun (membagi dalam gizi pendek (malnutrisi) dan gizi normal) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi (malnutrisi) dengan erupsi gigi. Penulis : Citra Denali, S.KM, M.Kes. Sumber : Atiek Driana Rahmawati, Hastami Retriasih, dan Ana Medawati. Hubungan antara Status Gizi dengan Status Erupsi Gigi Insisivus Sentralis Permanen Mandibula. IDJ; Mei 2014; Vol.3 No.1; 16-21. drg. Nithya, Sp.Perio. Dokter Spesialis Gigi Perio RSU Queen Latifa Yogyakarta. 2018. Taupiek Rahman, Rosihan Adhani, dan Triawanti. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi. Maret 2016; Vol I. No 1; 88-93.
"Pencegahan Stunting"
2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat akan menentukan produk tambahan tersebut. Konsultasikan dulu dengan dokter.
4. Terus memantau tumbuh kembang anak Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya.
5.Selalu jaga kebersihan lingkungan Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia. Semoga informasi ini membantu para ibu mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar